Wednesday, September 18, 2013

Belajar dari Batavia dan Bandung

Jakarta - Semarang, menjelang 1920. Begitu menghirup udara pegunungan, H. F. Tillema langung 'jatuh cinta' pada kota Bandung. Pada penelitiannya kemudian, dia mengusulkan ibu kota dipindahkan ke kota yang diapit pegunungan itu.

“Kota-kota pelabuhan di pantai Jawa sudah terasa panas dan semangat pekerja turun karena cepat lelah,” kata pakar kesehatan lingkungan itu dalam rekomendasinya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, J. P. Graaf van Limburg Stirum.

Tillema mengingatkan soal Inggris yang pernah memindahkan ibu kota daerah koloni India, dari Kalkuta ke New Delhi di pedalaman. Usulan Tillema disambut J. Klopper, rektor Magnificus Bandoengsche Technische Hoogeschool (sekarang Institut Teknologi Bandung).

Bandung sendiri sedang tumbuh menjadi kota yang ramai sejak Belanda membangun jalan raya Pos dari Anyer ke Panarukan. Sebelumnya, pada 1810 H. W. Daendels sudah memerintahkan pemindahan ibu kota Bandung dari Krapyak ke tepi jalan raya Pos.

Pemindahan ibu kota Hindia Belanda pun dieksekusi menjelang 1920, diawali perpindahan kantor Jawatan Kereta Api Negara, Pos dan Tilpon, Departement van Geovernements Bedrijven (GB) yang membawahi Dinas Pekerjaan Umum. GB menempati Gedung Sate yang dibangun dengan biaya 6 juta Gulden dan dirancang oleh arsitek J. Gerber.

Lalu diikuti oleh perpindahan sebagian Departemen Perdagangan dari Bogor, Kantor Keuangan, dan Lembaga Cacar yang bergabung dengan Institut Pasteur. Kementerian Pertahanan (Departement van Oorlog) sendiri sudah secara bertahap sudah memindahkan personilnya sejak 1916. Sebelumnya, mulai 1898 pabrik mesiu di Ngawi dan pabrik senjata atau Artillerie Constructie Winhel dari Surabaya sudah terlebih dahulu pindah.

Secara keseluruhan, perpindahan kantor-kantor ini selesai pada 1920.
Halaman 1 2

Thanks for reading: Belajar dari Batavia dan Bandung

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...